Dua Pasang Hati
A
A
A
Ia mengambil nafas sesudahnya, pikirannya belum juga beralih dari masalah kemarin malam. Ia tahu, sikapnya ini mungkin sudah kelewat ambang batas. Tapi dia harus bagaimana lagi?
Dia hanya ingin, adiknya itu terselamatkan dari patah hati. Hatinya pun ikut berkecamuk di dalam. Ada perasaan kesal pada dirinya, tetapi juga pada adiknya. Ada perasaan tidak suka, ketika ia mendapati kepala gadis itu dibelai lembut oleh adiknya sendiri. Keenan menyapu pandangannya ke rerumputan, memijat kepalanya yang terasa sedikit sakit. Kenapa malah jadi gini sih? Batinnya merongrong tak mengerti.
Entahlah, hanya gadis itu yang kini berhasil meruntuhkan pertahanannya saat ini. Dia tidak bisa memarahi gadis itu, juga adiknya sendiri. Pergulatan batinnya kali ini, sudah menggerogoti pikirannya yang sejak tadi enggan fokus pada pekerjaannya. Meski begitu, Keenan mengambil langkah tenang. Ia memejamkan matanya sedetik, kemudian meninggalkan halaman belakang rumah sakit. Segera, ia bergegas kembali ke ruangannya.
“Keenan!” panggil seorang yang tak asing lagi baginya. Seseorang yang beberapa waktu lalu sempat bermasalah dengannya, Ardio. Keenan menghentikan langkahnya, menunggu cowok itu dari kejauhan sampai di depan mukanya. Ia menatap dingin Ardio. “Gue ketemu Gavin, sebelum gue ke rumah sakit.” Alisnya bertaut, “Apa hubungannya sama gue?” Ardio berdecak sebal, “Gue kira lo udah berubah. Ckck!” “Gue males ribut.”
“Gue nggak ajak ribut lo. Sebagai sahabat–” “Sahabat?” Cowok itu mengeluarkan nada sinis dari ucapannya. “Okay! Gue ngaku kalah… Gue nggak pernah bisa dapetin Lara. Dia cinta mati sama lo.” Muka cowok itu berubah tenang kemudian. “Adek lo… naksir Lara juga, ya kan?” “Nggak peduli gue soal itu,” Keenan bungkam. Ardio membalikkan pundak Keenan, “Jangan terlalu sombong jadi laki-laki, Nan. You can never predict what happen in the future.”
“Bukan urusan lo, jangan ikut campur,” sergah Keenan. Ardio menatap Keenan sinis, “Heran gue, bisa-bisanya Lara cinta mati sama cowok sombong, dingin, arogan, egois, pengecut kayak lo.” Keenan mendengus, menatap Ardio. “Gue ingetin, Bro. Kalo lo mau dapetin Lara, ubah sikap dingin lo itu. Karena, Lara nggak pernah suka sama cowok yang nggak perhatian sama sekali sama dia.”
Keenan melempar pandangan dingin lagi pada Ardio–menahan amarah yang mulai bangkit di benaknya, lalu kembali ke ruangannya. Jam makan siang… “Lo nggak marah sama gue sama sekali, Vin?” tanya Lara heran. Ya ampun… betapa baiknya Gavin pada cewek ini. Bahkan setelah tanpa alasan Lara berlari meninggalkan rumah, Gavin masih peduli padanya. “Buat apa gue marah sama lo, Ra. Toh, yang salah juga kakak gue. Si kulkas.”
Cowok itu berkata sambil memandang sekotak kopi instan dinginnya. Lara terkekeh kecil, “Dia mah… nggak usah lo tanya, tidurnya juga kayaknya dalem kulkas.” Gavin ikut tertawa mendengar ledekan Lara tentang Keenan. “Apa kalian tadi malem bertengkar?” tanya Lara risau. “Yes, a bit. Gue nonjok dia, karena ngerendahin lo sampe segitunya.” “Ngerendahin gimana?”
Perasaannya tiba-tiba kalut. “Udahlah, nggak perlu lo bahas, Ra. Bisa-bisa emosi gue naik lagi. Dan lagipula…” Cowok itu menoleh kepada Lara, kemudian mengecup keningnya, sukses membuat hatinya kalang kabut tiba-tiba. “Gue nggak suka kalo cewek yang gue cintai dihina orang. Gue nggak peduli, apa kata Keenan soal kita. Gue sayang dan bakal selalu jagain lo.”
Lara kehabisan kata-kata, saat cowok itu menunjukkan ketulusannya pada Lara. Binar di wajah cowok itu terlihat begitu bahagia, saat dia bersama dengan Lara. Bimbang kini menyerang Lara lagi. Gimana dia sanggup, nolak cowok sebaik Gavin? Selanjutnya, Gavin malah menggenggam lembut tangan Lara, dan mendekap tubuhnya ke dalam pelukannya.
“Gue nggak akan pernah nyerah soal kita berdua. Apapun yang terjadi sama lo, akan jadi tanggung jawab gue.” Cowok itu melepaskan pelukannya. “Bisa kan, lo percaya sama gue?” tatapnya hangat. Lara mengangguk, meski ada perasaan sedih yang menyelinap di lubuk hatinya yang terdalam.
“Ah iya. Gue besok mau ke Harapan Bangsa, Vin.” “Ngapain lo ke sana?” “Gue mau ngembaliin barang. Kayaknya ada sesuatu yang ketinggalan pas gue pernah kecelakaan di sana.” (bersambung)
Vania M. Bernadette
Dia hanya ingin, adiknya itu terselamatkan dari patah hati. Hatinya pun ikut berkecamuk di dalam. Ada perasaan kesal pada dirinya, tetapi juga pada adiknya. Ada perasaan tidak suka, ketika ia mendapati kepala gadis itu dibelai lembut oleh adiknya sendiri. Keenan menyapu pandangannya ke rerumputan, memijat kepalanya yang terasa sedikit sakit. Kenapa malah jadi gini sih? Batinnya merongrong tak mengerti.
Entahlah, hanya gadis itu yang kini berhasil meruntuhkan pertahanannya saat ini. Dia tidak bisa memarahi gadis itu, juga adiknya sendiri. Pergulatan batinnya kali ini, sudah menggerogoti pikirannya yang sejak tadi enggan fokus pada pekerjaannya. Meski begitu, Keenan mengambil langkah tenang. Ia memejamkan matanya sedetik, kemudian meninggalkan halaman belakang rumah sakit. Segera, ia bergegas kembali ke ruangannya.
“Keenan!” panggil seorang yang tak asing lagi baginya. Seseorang yang beberapa waktu lalu sempat bermasalah dengannya, Ardio. Keenan menghentikan langkahnya, menunggu cowok itu dari kejauhan sampai di depan mukanya. Ia menatap dingin Ardio. “Gue ketemu Gavin, sebelum gue ke rumah sakit.” Alisnya bertaut, “Apa hubungannya sama gue?” Ardio berdecak sebal, “Gue kira lo udah berubah. Ckck!” “Gue males ribut.”
“Gue nggak ajak ribut lo. Sebagai sahabat–” “Sahabat?” Cowok itu mengeluarkan nada sinis dari ucapannya. “Okay! Gue ngaku kalah… Gue nggak pernah bisa dapetin Lara. Dia cinta mati sama lo.” Muka cowok itu berubah tenang kemudian. “Adek lo… naksir Lara juga, ya kan?” “Nggak peduli gue soal itu,” Keenan bungkam. Ardio membalikkan pundak Keenan, “Jangan terlalu sombong jadi laki-laki, Nan. You can never predict what happen in the future.”
“Bukan urusan lo, jangan ikut campur,” sergah Keenan. Ardio menatap Keenan sinis, “Heran gue, bisa-bisanya Lara cinta mati sama cowok sombong, dingin, arogan, egois, pengecut kayak lo.” Keenan mendengus, menatap Ardio. “Gue ingetin, Bro. Kalo lo mau dapetin Lara, ubah sikap dingin lo itu. Karena, Lara nggak pernah suka sama cowok yang nggak perhatian sama sekali sama dia.”
Keenan melempar pandangan dingin lagi pada Ardio–menahan amarah yang mulai bangkit di benaknya, lalu kembali ke ruangannya. Jam makan siang… “Lo nggak marah sama gue sama sekali, Vin?” tanya Lara heran. Ya ampun… betapa baiknya Gavin pada cewek ini. Bahkan setelah tanpa alasan Lara berlari meninggalkan rumah, Gavin masih peduli padanya. “Buat apa gue marah sama lo, Ra. Toh, yang salah juga kakak gue. Si kulkas.”
Cowok itu berkata sambil memandang sekotak kopi instan dinginnya. Lara terkekeh kecil, “Dia mah… nggak usah lo tanya, tidurnya juga kayaknya dalem kulkas.” Gavin ikut tertawa mendengar ledekan Lara tentang Keenan. “Apa kalian tadi malem bertengkar?” tanya Lara risau. “Yes, a bit. Gue nonjok dia, karena ngerendahin lo sampe segitunya.” “Ngerendahin gimana?”
Perasaannya tiba-tiba kalut. “Udahlah, nggak perlu lo bahas, Ra. Bisa-bisa emosi gue naik lagi. Dan lagipula…” Cowok itu menoleh kepada Lara, kemudian mengecup keningnya, sukses membuat hatinya kalang kabut tiba-tiba. “Gue nggak suka kalo cewek yang gue cintai dihina orang. Gue nggak peduli, apa kata Keenan soal kita. Gue sayang dan bakal selalu jagain lo.”
Lara kehabisan kata-kata, saat cowok itu menunjukkan ketulusannya pada Lara. Binar di wajah cowok itu terlihat begitu bahagia, saat dia bersama dengan Lara. Bimbang kini menyerang Lara lagi. Gimana dia sanggup, nolak cowok sebaik Gavin? Selanjutnya, Gavin malah menggenggam lembut tangan Lara, dan mendekap tubuhnya ke dalam pelukannya.
“Gue nggak akan pernah nyerah soal kita berdua. Apapun yang terjadi sama lo, akan jadi tanggung jawab gue.” Cowok itu melepaskan pelukannya. “Bisa kan, lo percaya sama gue?” tatapnya hangat. Lara mengangguk, meski ada perasaan sedih yang menyelinap di lubuk hatinya yang terdalam.
“Ah iya. Gue besok mau ke Harapan Bangsa, Vin.” “Ngapain lo ke sana?” “Gue mau ngembaliin barang. Kayaknya ada sesuatu yang ketinggalan pas gue pernah kecelakaan di sana.” (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)